Kamis, 22 Desember 2016

Memelihara Kejujuran


Hadirin rahimakumullah,
Pernah suatu ketika seorang pemuda yang shaleh bernama Tsabit bin Ibrahim berjalan di pinggiran kota Khufah, hendak menuntut ilmu, dalam perjalanan beliau berhenti di suatu kebun apel yang sangat lebat buahnya dan nampak olehnya sebuah apel yang terjatuh di tanah, sang Pemuda tersebut memungutnya dan lalu memakan buah apel tersebut, belum habis buah tersebut dimakannya lalu dia tersadar atas kesalahannya yang telah memakan buah yang bukan miliknya. Dengan sangat menyesal dia lalu mencari pemilik kebun apel tersebut, singkat cerita bertemulah dia dengan pemilik kebun tersebut kemudian sang pemuda memohon kepada pemilik kebun tersebut untuk mengikhlaskan buah apel yang telah dimakannya.

Ternyata di luar dugaan ternyata sang pemilik kebun tersebut keberatan untuk mengikhlaskan apa yang dimakan oleh sang pemuda ini, rupanya dia punya tujuan lain yakni hendak menikahkan putri beliau dengan pemuda ini, yang dipandangnya bukan seorang pemuda sembarangan, pemuda yang sudah pasti berhati bersih dan jujur, yang memiliki keinginan untuk terhindar dari perbuatan maksiat sekecil apapun, dan sudah pasti berusaha untuk melindungi diri dan keluarganya dari siksa api neraka. Sudah lama orang tua ini mendambakan tipe pemuda yang demikian, baru kali inilah dia dipertemukan.

Lalu sang pemilik kebun berkata,
“Aku akan mengikhlaskan apa yang telah engkau makan apabila engkau mau menikah dengan putriku, dan perlu engkau ketahui bahwa aku memiliki seorang putri yang buta, tuli dan bisu.”

Sontak sang pemuda ini pun terhenyak, betapa tidak, hanya kesalahan memakan buah apel yang ditemukan di tanah dia harus membayar mahal dengan menikahi seorang wanita yang digambarkan sebagai seorang yang buta, tuli dan bisu pula. Namun karena dia memang sudah ikhlas apa pun kondisi yang akan dihadapinya akhirnya diapun setuju untuk menikah dengan putri pemilik kebun tersebut dengan kondisi yang sudah disebutkannya.

Maasyiral hadirin yang berbahagia,
Kita tidak menceritakan bagaimana prosesi pernikahan dari sang pemuda kita ini, namun yang akhirnya terjadi adalah bahwa putri yang dimaksudkan oleh orang tua tadi adalah seorang putri yang cantik tanpa kekurangan dari paras wajahnya, baik pula akhlak dan budi pekertinya.   Ternyata yang dimaksud buta, tuli dan bisu oleh orang tua tadi adalah bahwa putrinya ini buta dalam hal melihat sesuatu yang maksiat, tuli maksudnya tidak pernah mendengar perkataan yang keji dan berbau maksiat dan bisu maksudnya tidak pernah berkata bohong, dan tidak pernah mengucapkan perkataan yang tercela.

Beruntung sekali pemuda tersebut, buah dari kejujuran yang sudah tertanam dalam dirinya Allah berkenan melimpahkan kepadanya seorang istri yang sangat cantik lagi mulia, lebih dari itu Allah juga berkenan memberikan kepada mereka berdua keturunan yang saleh dan sangat luas pengetahuannya, sehingga dari keduanya lahirlah seorang yang bernama Abu Hanifah an-Nu’man bin Tsabit atau yang lebih kita kenal dengan nama Imam Hanafi yang merupakan salah satu imam mazhab dan ilmunya terpancar ke seluruh penjuru dunia.

Dari cerita singkat ini, saya ingin mengajak jemaah sekalian untuk senantiasa berlaku jujur, lurus dan istiqamah dalam menapaki kehidupan yang serba munafik ini.  Kejujuran tidak boleh kita tinggalkan, kejujuran akan membuat kita hidup nyaman tanpa dikejar-kejar oleh sesuatu yang membuat hati kita gelisah.

Kita hanya memakan makanan dari sesuatu yang halal dan baik kemudian kita pun memberikan sesuatu untuk dimakan anak dan istri kita juga dari yang baik serta hasil kerja dari jalan yang halal, bukan dari hasil yang tidak jelas asal usulnya, mencuri, korupsi atau memanipulasi sesuatu yang bukan seharusnya menjadi milik kita.

Kita berharap bahwa Allah akan memberikan berkah dari apa yang kita cari dan kita makan, serta apa yang kita berikan untuk dimakan oleh anak-anak kita dan kelak kita berharap keturunan kita, zuriat-zuriat kita akan menjadi manusia-manusia yang berakhlak mulia pada zamannya, dan akan menjadi pemimpin umat pada masanya.

Hadirin yang berbahagia,
Mari kita lanjutkan sisa hidup ini dengan berlaku jujur dalam segala hal terutama dalam hal mencari nafkah untuk kebutuhan hidup kita dan keluarga.  Pada saat ini  tak ada lagi yang lebih berharga dari sebuah kejujuran, kejujuran menduduki tempat tertinggi dari segala sisi kehidupan.

Tapi kejujuran butuh proses yang sangat panjang, memelihara kejujuran tersebut bukanlah perkara mudah, tanpa kemauan keras kita tidak akan sanggup untuk melakukannya.  Kejujuran harus dimulai dari sesuatu dalam diri kita dan dari dalam hati kecil kita, apabila kejujuran sudah dipupuk sejak masa kanak-kanak, maka ketika dewasa kita tinggal membiasakannya, namun hal ini juga berpengaruh dari berbagai faktor, lingkungan, pendidikan dan tidak luput pula dari makanan yang masuk ke dalam tubuh kita melalui rongga mulut kita.  Tentu saja makanan yang halal lebih memiliki kecenderungan untuk dapat memelihara anak-anak kita dari perilaku yang buruk, apapun bentuknya.

Allah senantiasa memelihara orang yang jujur dan juga senantiasa memberikan tempat yang terpuji bagi orang yang jujur di hadapan ummat.

Kita tidak perlu berharap sesuatu yang besar terjadi di hadapan kita, kita hanya perlu berharap semoga dengan kejujuran yang kita pelihara pada saat ini, Allah berkenan memperbaiki kehidupan kita di masa yang akan datang, memperbaiki kehidupan anak cucu kita dan generasi-generasi penerus kita.

Jadikan generasi di hadapan kita sebagai insan-insan yang berperilaku jujur, mari kita mulai dari diri kita sendiri, lingkungan keluarga kita, tetangga dan kerabat kita.  Tebarkan kejujuran dan kebaikan mulai dari lingkungan yang paling kecil dan paling dekat di mana tempat kita berada, sehingga apabila masing-masing kita berlaku demikian pada gilirannya nanti akan kita dapati negeri kita menjadi sebuah negeri yang aman dan makmur negeri yang baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur.

Kejujuran merupakan modal utama, mata uang yang berlaku di seluruh dunia di belahan bumi mana saja kita berada.  Tidak ada seorangpun yang tidak menyukai perilaku jujur, kendati pun sangat jarang orang yang dapat dengan tulus melakukannya.

Jujurlah, walaupun berat melakukannya.  Ambil semua resiko atas sebuah kejujuran yang kita tegakkan. Karena Allah pasti memiliki penilaian tersendiri atas sikap dan perilaku kita, biarlah Allah yang akan mengganti segala resiko yang kita terima atas kejujuran kita dengan sesuatu yang tentunya lebih baik menurut penilaian Allah.  Karena sesuatu yang baik menurut kita belum tentu baik menurut Allah, dan sebaliknya sesuatu yang buruk menurut kita juga belum tentu buruk di hadapan Allah.

Allah berfirman:

 لِّيَجْزِيَ اللَّهُ الصَّادِقِينَ بِصِدْقِهِمْ وَيُعَذِّبَ الْمُنَافِقِينَ إِن شَاءَ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَّحِيمًا 


“Supaya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya, dan menyiksa orang munafik jika dikehendaki-Nya, atau menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”  (QS.73/Al-Ahzab: 24)

Demikianlah khutbah singkat hari ini, semoga bermanfaat bagi kita semua, terutama bagi diri saya sendiri dalam melanjutkan sisa-sisa usia kita untuk tujuan akhir kembali ke hadirat Ilahi dengan husnul khatimah.



[Oleh: Adi Kusuma, disampaikan pada Khutbah Jumat 17  April 2015, di Masjid Nurul Hikmah, Lr. Kawat, Palembang].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar